BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memahami ajaran dalam agama Islam
dilakukan tidak sebatas membaca Al-Quran dan terjemahannya. Sebab, Al-Quran
memiliki bahasa yang tinggi dan ayat-ayatnya tidak selalu bisa dipahami hanya
melalui terjemahan. Salah satu penjelas dari isi Al-Quran adalah sunah atau hadits yang berupa ucapan-ucapan
Rasulullah Saw. yang diberi otoritas oleh Tuhan untuk menyampaikan setiap wahyu
kepada umat manusia. Kedudukan hadits ini sangat penting bagi umat Islam.
Relasi antara al-Qur;an-hadis dan umat
Islam terhadap keduanya seperti prinsip simbiosis mutualisme. Hadits
merupakan warisan Rasulullah yang sampai sekarang masih dipegang para umatnya
yang senantiasa mengharapkan syafaat setelah dibangkitkan kembali nanti. Hadits
dikumpulkan oleh sejumlah perawi memiliki peran penting dalam penyampaian
ajaran Islam. Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam
memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks.
B.
Rumusan
Masalah
Ø Apa
itu Ulumul Hadits?
Ø Bagaimana
sejarah dan perkembangan Ulumul Hadits?
Ø Apa
saja cabang-cabang Ulumul Hadits?
Ø Apa
sajakah kitab-kitab Hadits?
C.
Tujuan
a.
Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang sejarah dan perkembangan
Ulumul hadits serta macam-macam cabang dan buku Ulumul hadits.
b. Tujuan
Khusus
Untuk menyelesaikan tugas dari dosen pembimbing mata
kuliah Ulumul Hadits.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ulumul Hadits
Ulumul hadits, merupakan salah satu bidang ilmu
yang penting dalam islam terutama dalam mengenal dan memahami hadis-hadis Nabi
SAW. Menurut bahasa, ulumul Hadist terdiri
dari dua kata yakni kata “ilmu” dan “hadis”, kata “ilmu” berasal dari bahasa
Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman,
dengan wazan fa’ila, yaf’alu,
yang berarti mengerti, memahami benar-benar. [1]
Kata hadis secara Etimologi
berarti komunikasi, kisah, percakapan yang bersifat Religius, sekuler,
historis, atau kontemporer, dan secara Terminologi
hadis adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik dari
segi perkataan, perbuatan, dan penetapan.[2]
Menurut Al-‘alamah at-Tabrizy dalam kitabnya Syarhu’d Di-baj’il-Mudzahhab diperoleh
suatu pengetian bahwa Ulumul Hadis
adalah:
Ilmu
pengetahuan tentang sabda, perbuatan, penetapan, gerak-gerik dan bentuk
jasmaniah Rasulullah SAW, beserta sanad-sanad dan ilmu pengetahuan untuk
membedakan keshahihannya, kehasanannya dan kedaifannya dari pada lainnya, baik
matan maupun sanadnya.
-
Ibnu
Hajar Al-asqalani berpendapat bahwa ilmu hadits adalah:
mengetahui
kaidah-kaidah yang dijadikan sambungan untuk mengetahui (keadaan) perawi dan
yang diriwayatkan.
Dengan demikian Ulum al hadits mengandung
pengertian’ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi. Adapun
salah satu cara untuk membedakan antara hadis yang diterima dan yang ditolak
adalah dengan mempelajari dan memahami Ulum al hadits yang memuat segala
permasalahan yang berkaitan dengan hadis.
Pada mulanya ilmu hadis memang merupakan
beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang hadis
nabi SAW dan para sepertiIlmu al-Hadis al-Sahih, Ilmu
al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan lain-lain. Ilmu-ilmu yang
terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadis, karena
masing-masing membicarakan tentang Hadis dan para perawinya. Akan tetapi, pada
masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan
satu, serta selanjutnya dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri
sendiri.
Terhadap
ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap
dipergunakan nama Ulumul Hadis, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz
jamak Ulumul Hadis setelah keadaannya menjadi satu adalah mengandung makna
mufrad atau tunggal, yaitu Ilmu Hadis, karena telah terjadi
perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama (beberapa ilmu
yang terpisah) menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus yang nama
lainnya adalah Musthalahul Hadis.[3]
Jika
diperhatikan dengan seksama, tidak dijumpai pertentangan pendapat diantara para
Ulama seputar masalah Ulumul Hadis. Ulama Mutakaddimin maupun Ulama
Mutaakhirin sepakat berpendapat bahwa pokok bahasan dalam Ulumul Hadis,
adalah seputar permasalahan tentang matan dan sanad hadis.
Mengingat fungsi ilmu
hadis sangat menentukan terhadap pemakaian nas sebagai pedoman beramal, tidak
sedikit para ulama yang memberikan tanggapan atas ketentuan hukum mempelajari
ilmu hadis.
“Imam Suryan Sauri
berkata saya tidak mengenal ilmu dan yang lebih utama bagi orang yang berhasrat
menundukkan wajahnya dihadapan Allah selain dari pada ilmu hadis, orang-orang
sangat memerlukan ilmu ini, sampai kepada soal-soal kecil sekalipun, seperti
makan, minum memerlukan petunjuk dari al-hadis.”[4]
Mempelajari ilmu hadis lebih utama dari pada menjalankan shalat dan puasa
sunnah, karena mempelajari ilmu ini adalah fardu kifayah, sedangkan shalat
sunnah dan puasa sunnah hukumnya sunnah.[5]
B. Sejarah dan perkembangan Ulumul hadits
Sejarah dan
Perkembangan Ulumul hadits Ulumul hadits telah lahir sejak Rasulullah SAW
wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun hadits-hadits Rasulullah SAW
karena timbulnya kekhawatiran akan hilang atau lenyapnya hadits-hadits
tersebut. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadits.
Mereka juga telah menggunakan kaidah-kaidah
serta metode tertentu dalam menerima
hadits, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut. Dalam QS.
Al-Hujarat ayat 6, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk meneliti
dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang lain, terutama dari
orang fasik. Firman Allah SWT, yang Artinya:
“Hai
orang-orang yang telah beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu
berita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan (yang sebenarnya) yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu” [6]
Sementara
dalam hadits disebutkan;
“(Semoga)
Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (hadis),
lantas dia menyampaikannya (hadis tersebut) sebagaimana dia dengar,
kadang-kadang orang yang menyampaikan lebih hafal daripada yang mendengar”.
(HR. At-Tirmizi).
Menulis
hadits hukumnya boleh berdasarkan konsensus ulama hadits. Namun tetap harus
berpegangan dengan kecermatan.
Pembagian
metode periwayatan hadits ada 8 macam :
1. Mendengarkan
langsung lafazh sang guru.
2. Membacakan
(riwayat) di hadapan sang guru.
3. Al-Ijâzah (yaitu guru memberikan
lisensi/izin kepada muridnya untuk meriwayatkan darinya, menurut jenis-jenisnya.
4. Al-Munâwalah
(yaitu
guru menyerahkan manuskripnya kepada muridnya.
5. Al-Mukâtabah (yaitu guru menuliskan
atau mewakilkan orang lain yang menulis hadits untuk muridnya.
6. Al-I'lâm (guru mengumumkan kepada
muridnya bahwa ia memiliki manuskrip hadits.
7. Al-Washiyah (yaitu: guru mewasiatkan
sebuah manuskrip yang dimiliki olehnya, ketika hendak meninggal atau hendak
safar.
8. Al-Wijâdah(yaitu
seorang yang menemukan manuskrip seorang perawi yang tidak sezaman dengannya.
Dalam kitab Mabahits
Ulumil hadits, Syekh Manna Al-Qaththani
menyimpulkan bahwa yang mendasari lahir dan berkembangnya Ilmu Hadits ada 2 hal
pokok, yaitu:
1.
Dorongan
agama
Bahwasanya umat
manusia memperhatikan warisan pemikiran yang dapat menyentuh dan membangkitkan
kehidupan mereka, memenuhi kecintaan hati mereka, menjadi pijakan kebangkitan
mereka, lalu mereka terdorong untuk menanamkannya pada anak-anak mereka agar
menjadi orang yang memahaminya, hingga warisan itu selalu hadir di hadapan
mereka, membimbing langkah dan jalan mereka. Jika umat lain begitu perhatian
terhadap warisan pemikiran mereka, maka umat Islam yang mengikuti risalah Nabi
Muhammad SAW juga tidak kalah dalam memelihara warisan yang didapatkan dari
Nabi SAW dengan cara periwayatan,menukil, hafalan, dan menyampaikannya, serta
mengamalkan isinya karena itu bagian dari eksistensinya, dan hidup umat ini
tiada berarti tanpa dengan agama.
2.
Dorongan
sejarah
Umat manusia
banyak dihadapkan pada pertentangan dan halangan sehingga mendorong untuk
menjaga warisan mereka dari penyusupan yang menyebabkan terjadinya fitnah dan
saling bermusuhan serta tipu muslihat. Dan umat islam yang merobohkan pilar
kemusyrikan serta mendobrak benteng Romawi dan Persia, menghadapi musuh
bebuyutan, tahu benar bahwa kekuatan umat ini terletak pada kekuatan agamanya,
dan tidak dapat dihancurkan kecuali dari agama itu sendiri, dan salah satu
jalannya adalah pemalsuan terhadap hadis. Dari sini, kaum muslimin mendapat
dorongan yang kuat untuk meneliti dan menyelidiki periwayatan hadis, dan
mengikuti aturan-aturan periwayatan yang benar, agar mereka dapat menjaga
warisan yang agung ini dari penyelewengan dan penyusupan terhadapnya sehingga
tetap bersih, tidak dikotori oleh aib maupun oleh keraguan.
Beberapa
Aktivitas Ulama Hadits Dalam Rangka Memurnikan Hadits
Ø Melakukan
pembahasan terhadap sanad hadis serta penelitian terhadap keadaan setiap para
perawi hadis, hal yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan
Ø
melakukan perjalanan (rihlah) dalam
mencari sumber hadis agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya dan
meneliti kebenaran riwayat tersebut melaluinya.
Ø
melakukan perbandingan antara riwayat seorang
perawi dengan riwayat perawi lain yang lebih tsiqat dan terpercaya dalam rangka
untuk mengetahui ke-dha’if-an atau kepalsuan suatu hadis.
Periode
perkembangan Hadist.
Masa pertama,
masa wahyu dan pembentukan hkum serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi
bangkit (ba’ats, diangkat sebagai Rasul) hingga beliau wafat pada tahun 11 H
(dari 13 SH-11 H).
Masa kedua,
masa membatasi riwayat, masa Khulafa’Rasyidin (12 H-40 H). Dengan alasan
pengutamaan atas penyebaran Al-Qur’an.
Masa ketiga,
masa berkembangnya riwayat dan perlawatan dari kota ke kota untuk mencari
hadits (41 H – akhir abad pertama H). Para sahabat, setelah Rasul wafat tidak
lagi berdiam di Madinah. Mereka pergi ke kota-kota lain. Maka penduduk kota
lain pun mulai menerima hadits. Para tabi’in mempelajari hadits dari para
sahabat itu. Dengan demikian mulailah berkembang periwayatan hadits dalam
tabi’in. periwayatan pada masa ini hanya disampaikan kepada yang memerlukannya
saja dan belum bersifat pelajaran.[7]
Masa
keempat, masa pembukuan hadits (permulaan abad ke 2 – akhirnya). Guna
menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits sebagai
prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan hadits dan
memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu' (yang berisi perilaku Nabi
Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu'
(berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan hadits pada masa ini selain telah
dikelompokkan (sebagaimana dimaksud di atas) juga dilakukan penelitian Sanad
dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi)
atas hadits yang ada maupun yang dihafal.
Masa
kelima, masa meentashhihkan hadits dan menyaringnya (awal abad ke 3 H
hingga akhir)
Masa
keenam, masa menapis kitab-kitab hadits dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (awal abad ke 4 H
hingga jatuhnya Baghdad tahun 656 H).
Masa
ketujuh, masa membuat syarah, membuat kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadits-hadits hokum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum serta membahas
hadits-hadits zawa’id (656 H sampai
saat ini).
C. Cabang-cabang Ulumul Hadits.
Imam Suyuthi mengatakan bahwa cabang-cabang ulumul hadis tak
terhitung jumlahnya. Sedang al-Hazimy mengatakan Ulumul Hadis terdiri dari
pembahasan yang sangat banyak, mencapai seratus jenis. Masing-masing merupakan
ilmu tersendiri. Sehingga seandainya seseorang menghabiskan usianya untuk
mempelajarinya, maka tidak akan mengkajinya secara tuntas.[8]
Para Ulama Hadis telah membagi Ilmu Hadits kepada dua bagian,
yaitu Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah, yaitu;
1. Ilmu Hadits Riwayah
Adapun yang dimaksud dengan Ilmu Hadis
Riwayah, sebagaiamana yang disebutkan
oleh Zhafar Ahmad ibn Lathif al-Utsmani al-Tahanawi di dalam Qawa’id fi Ulum
al-Hadisseperti yang dikutip oleh Nawir Yuslem dalam Ulumul Hadis adalah sebagai
berikut:
Ilmu Hadis
yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya
perkataan, perbuatan, dan keadaan Rasul SAW serta periwayatan, pencatatan, dan
penguraian lafaz-lafaznya.
Dari definisi tentang ilmu Hadis Riwayah di atas dapat
dipahami bahwa Ilmu Hadis Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata
cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi SAW.
2. Ilmu Hadist Dirayah
Mengenai pengertian Ilmu Hadis Dirayah,
para ulama hadis memberikan definisi yang bervariasi, namun jika dicermati berbagai
definisi yang mereka kemukakan, maka akan ditemukan persamaan antara satu
dengan lainnya, terutama dari segi sasaran dan pokok bahasannya. Di sini akan
penulis kemukakan satu di antaranya:
Ibn al-Akfani memberikan
definisi Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut:
“Dan ilmu hadis yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang bertujuan
untuk mengetahui hakikat
riwayat, syarat-syarat,
macam-macam, dan hukum-hukumnya,keadaan para perawi, syarat-syarat
mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.”
Menurut Tengku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu Hadits
Riwayah dan Dirayah ialah:
Ø
Ilmu
Rijalul Hadits
Ialah ilmu yang
membahas para perawi hadits, dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan
sesudahnya.[9]
Ø
Ilmu
Jarhi wat ta’dil
Ialah ilmu yang
menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan
tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata
yang khusus dan tentang martabat kata-kata itu.[10]
Ø
Ilmu
fannil mubhammat
Ialah ilmu untuk
mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut dalam matan, atau di dalam
sanad. Di antara yang menyusun kitab ini, Al-Khatib Al Baghdady. Kitab Al
Khatib itu diringkas dan dibersihkan oleh An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat Ila
Bayani Asmail Mubhamat.
Ø
Ilmu ‘ilalil
Hadist
Ialah ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang
tersembunyi, tidak nyata, yang dapat merusakkan hadits. Yakni: menyambung yang
munqathi’, merafa’kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits ke dalam hadits yang
lain dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui dapat merusakkan hadits.
Ilmu ini, ilmu yang berpautan dengan keshahihan hadits. Tak dapat diketahui
penyakit-penyakit hadits, melainkan oleh ulama, yang mempunyai pengetahuan yang
sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat
terhadap sanad dan matan-matan hadits.
Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan bahwa cara
mengetahui ‘illah hadits adalah dengan mengumpulkan beberapa jalan hadits dan
mencermati perbedaan perawinya dan kedhabithan mereka, yang dilakukan oleh
orang orang yang ahli dalam ilmu ini. Dengan cara ini akan dapat diketahui
apakah hadits itu mu’tal (ada ‘illatnya) atau tidak. Jika menurut dugaan
penelitinya ada ‘illat pada hadits tersebut maka dihukuminya sebagai hadits
tidak shahih .
Ø
Ilmu
talfiqil hadits
Ialah ilmu yang membahas tentang cara
mengumpulkan hadits yang berlawanan lahirnya. Ada kalanya dikumpulkan dengan
cara mentahsikhkan yang ‘aam atau mengtaqyidkan yang mutlak atau dengan
memandang tempo kejadiannya.
Ø
Ilmu
tashif wat tahrif
Ialah ilmu yang menerangkan tentang
hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai mushohaf), dan bentuknya
(dinamai muharraf).
Ø
Ilmu
asbabi wurudil hadits
Ialah
ilmu yang membicarakan tentang sebab-sebab mengapa Nabi Muhammad menuturkan
sabdah beliau dan waktu beliau menuturkan itu. Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu
Asbabi Wurudil Hadits adalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbulnya hadits.
Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan
menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan. Disamping itu ilmu
ini mempunyai fungsi lain untuk memahami ajaran islam secara kompherensif. Dan
juga dapat membantu kita mengetahui mana yang datang terlebih dahulu di antara
dua hadits yang “Pertentangan”. Karenanya tidak mustahil kalau ada beberapa
ulama yang tertarik untuk menulis tema semacam ini.[11]
Ø
Ilmu
mukhtalaf dan musykil hadits
Ialah
ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara hadits yang zhahirnya bertentangan
atau ilmu yang menerangkan ta’wil hadits yang musykil meskipun tidak
bertentangan dengan hadits lain. Oleh sebagian ulam dinamakan dengan “Mukhtalaf
Al-Hadits” atau “Musykil Al-Hadits”, atau semisal dengan itu. Ilmu ini tidak
akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih .[12]
D. Macam-macam kitab Hadits
Ø
Kitab
yang mengumpulkan Shahih al-Bukhary dan Muslim
Al-jami’
baina ash-shahihaini. Terdiri dari beberapa orang yang pernah menyusun
seperti: Muhammad ibn abdillah al-Jauzaqy, isma’il ibn Ahmad (Ibnu al-Furat),
Husain ibn Mas’ud al-Baghawy, Muhammad ibn Abi Nashr al-Humaidy al-Andalusy,
Muhammad ibn Abd al-Haqq al-Asybily, Ahmad ibn Muhammad al-Qurthuby (Ibnu Hujjah).
Ø
Kitab
yang mngumpulkam isi Kitab Enam
·
Tajtid
ash-shihah, susunan Ahmad ibn razin as-Sarqasthy.
·
Jami’
al-Ushul, susunan Imam Al-Atsir al-jazzary (606 H)
·
Tashhil
al-Wushul ila Ahaditsi az-Zaidah ‘ala Jami’il Ushul, susunan Al-Fairuz
zabady
Ø
Kitab-kitab
Jami’ yang lengkap
·
Mashabih
as-Sunnah, susunan Al-baghawy.
·
Jami’
al-Masarid wa al-alqab, susunan Ibnu al-jauzy. Kitab ini mengumpulkan
hadis-hadis Shahihain, Musnad Ahmad dan jami’ at-Tirmidzy.
·
Bah
al-Asrid, susunan al-hafizh Al-Hasan ibn Ahmad as-Samarqandy (491
H).
·
Jami’al-masanid
wa as-Sunan, susunan Ibnu katsir(774 H).
·
Majmu’az-Zawa’id
wa mamba’al-fawa’id, susunan Al-Haitamy
·
It-haf
al-Maharah bi Zawa’id al-masarid al-‘Asyrah, susunan Ibnu hajar
·
Jami’
al-Juwami’ dan Al-jami’ ash-Shaghir, susunan As-Saythy.
Ø
Kitab-kitab
hadis hukum
·
As-Sunan
al-Kubra, susunan Al-baihaqy.
·
As-Sunan,
susunan Ad-daruquthny.
·
Al-Imam,
karya Ibnu Daqiq al-led
·
Muntaqa
al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany
·
Bulgh
al-maram, susunan Ibnu hajar al-Asqalany
·
‘Umdat
al-Ahkam, karya Abd al-Ghany al-Maqdisy. Dalam kitab ini dibukukan
hadis-hadis hokum yang disepakati oleh Al-Bukhary-muslim yang terdiri dari 500
buah hadis
·
Al-muharrar,
susunan Ibnu Qudamah al-maqdisy
Ø
Kitab-kitab
Hadis Targhib dan Tarhib
·
At-Targhib
wa at-tarhib, susunan imam Al-Mundiry
·
Riyadh
ash-shalihin, susunan Imam An-Nawawy
Ø
Kitab
yang Menerangkan Derajat-derajat Hadits yang Terdapat dalam berbagai tafsir,Fiqh, yang dinamai Takhrij.
·
Takhrij
Ahadits al-kasysyaf, susunan Jamaluddin al-hanafy. Kitab ini menjelaskan derajat
hadits-hadits yang terdapat dalam Tafsir al-kasysyaf
·
Ath-thuruq
wa al-Wasa’il, kitab yang menerangkan tentang hadits-hadits yang terdapat
dalam kitab Khulashah ad-Dala’il, sebuah kitab hanafy. Kitab ini disusun oleh
Ahmad ibn utsman at-Turkumany.
·
Takhrij
Ahadits al-minhaj, disusun oleh Ibnu mulaqqin. Kitab ini yang menerangkan
hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Minhaj ath-thalibin.
·
Idrak
al-Haqiqah, kitab yang menerangkan derajat-derajat hadits terdapat dalam
kitab Ath-Tariqah. Kitab takhrij ini disusun oleh Ali Ibnu hasan ibn Shadaqah
al-Mishry, selesai dibuat dalam tahun 1050 H.
·
Al-mughni‘an
Haml al-Asfar, disusun oleh Al-Hafizh Al-Iraqy. Kitab ini yang menerangkan
derajat hadits yang terdapat dalam Al-ihya’.
Ø Kitab Mustadrak
Ialah kitab yang membukukan hadits shahih yang dibukukan
oleh Al-Bukhary dan Muslim dalam kitab Shahih-nya. Kitab yang sangat dikenal
dikalangan umat islam ialah Al-Mustadrak susunan Abu Abdullah Muhammad ibn
Abdullah ibn Muhammad ibn Hamdawiyah al-Hakim an-Naisaburry yang terkenal
dengan nama Ibnu Bayyi’ atau Al-hakim.
Ø
Kitab-kitab
Mustakhraj
Ialah kitab yang mengambil hadits dari
sebuah kitab ulama hadits. Dari kitab Al-Bukhary umpamanya, lalu menyebutkan
satu persatunya dengan sanad-nya sendiri, yakni mencari sanad-nya sendiri
selain jalan Al-Bukhary hingga berjumpa dengan Al-Bukhary pada guru Al-Bukhari,
atau di atasnya lagi.
Ø
Kitab
–kitab hadits Adzkar
Ialah kitab yang menerangka tentang zikir.
Kitab Al-Adzkar telah di syarahkan oleh Ibnu Allan ash-Shiddiqy Syafi’y dalam
kitab Al-futuhat ar-rabbaniyah ‘ala al-Adzkar an-nawawiyah, sebuah syarah yang
baik.
Al-Adzkar sangat dipuji dikalangan ulama.
An-Nawawy berkata “kitab Al-Adzkar sangat dibutuhkan oleh para penuntut
akhirat”. Sebagian ulama berkata “Bi’ddara wasytar al-adzkar” yang artinya
juallah rumah dan belilah Al-Adzkar.
Ø
Kitab-kitab
penunjuk Hadits
Kitab ini sangat diperlukan oleh para
pelajar hadits untuk mencari suatu hadits yang mereka perlukan. Salah satunya
adalah kunuz as-Sunnah
Ø
Kitab
Athraf
·
Athraf
ash-Shahihaini, karya Al-hafizh Ibrahim ibn Muhammad ibn Ubaid ad-Dimasyqy
·
Atharaf
as-Sittah, karya Al-hafizh
·
Dzakhair
al-Mawarits fi ad-Dalalati ‘ala Mawadhi’ ala-Ahadits, karya Al-‘Allamah
As-Saib Abd al-Ghany al-Maqdisy 91143 H). kitab ini adlah kitab
athaf bagi kitab enam dan Muwaththa’ malik. Dalam kitab ini nama-nama para
sahabat disusun menurut abjad.
Ad-Dahlawy membagi
derajat kitab-kitab hadits kepada empat tingkatan, yaitu:
Ø
Al-Muwaththa’, Shahih al-Bukhary dan Shahih Muslim
Ø
Sunan yang keempat, sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasa’y,
Sunan at-Tirmidzy, Sunan Ibni Majah. Sementara Musnad Ahmad sangat berdekatan kepada
tingkatan kedua ini.
Ø
Seluruh musnad selain Musnad Ahmad, yang
kandungannya bercampur baur, ada yang
shahih, ada yang hasan, ada yang dha’if, bahkan ada yang munkar, seperti Musnad
Abu ya’la, sunan Al-Baihaqy, kitab-kitab Ath-Thahawy dan kitab Ath-Thabrany.
Ø
Kitab-kitab yang dimaksudkan oleh penyusunannya
mengumpulkan segala rupa hadits, untuk kepentingan mereka yang membantu
pendirian dan paham masing-masing. Seperti kitab-kitab Ibnu Asakir, Ad-Dailamy,
Ibnu najjar Abu Nu’aim dan yang
setaraf.
Dan yang menjadi pedoman Ulama Hadits ialah
kitab tingkatan pertama dan kedua. Tingkatan ketiga tidak diperbolehkan siapa saja mengambil haditsnya.
Sedangkan yang keempat tidak dihargai
ulama hadits kenamaan, kecuali dalam membuat hujjah dan keterangan, kecuali sebagai hadits yang diketahui kebaikan
sannad-nya dengan pemeriksaan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kedudukan
hadits dalam islam yang utama adalah penjelas Al-Qur’an yang masih global.
Hadits menjadi pedoman tambahan ketika muncul persoalan-persoalan yang tidak
spesifik terdapat pada Al-Qur’an setelah Rasulullah. Al-Qur’an dan hadits
dijadikan sebagai rujukan para ulama untuk mengeluarkan fatwa dan aturan
lainnya. Hadits menjaga ayat-ayat al-Qur’an tidak secara sembarangan
dlencengkan sehingga seolah ayat-ayat Al-Qur’an berkontradiksi. Penjelasan
Rasulullah sudah merupakan penjelas yang dapat dipahami bahwa juga sudah
ditafsirkan secara mendalam oleh para ulama. Ucapan dan kepribadian Rasulullah
SAW selalu berdasarkan Al-Qur’an. Umat islam yang mengikuti hadits-hadits
Rasulullah adalah mereka yang juga taat pada Al-Qur’an. Maka pengertian dari
ilmu hadits itu sendiri adalah apa yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW.
Baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik
sebelum atau sesudah kenabiannya.
Dan
dalam sejarah perkembangan ilmu hadits ada 2 hal pokok, yaitu dorongan agama dan
sejarah. Dan adapun hadits-hadits tersebut terbagi dua yaitu hadits dirayah dan
hadits riwayah. Begitu banyak kitab-kitab hadits berdasarkan
tingkat-tingkatannya pula.
B. SARAN
Sesuai
dengan perkembangan hadits, ilmu hadits
selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah sekalipun sebelum dinyatakan sebagai
ilmu ekplisit, pada masa nabi Muhammad SAW hadits tidak memiliki persoalan
karena langsung dibicarakan dengan nabi. Ulumul hadits membahas dari segi
bahasa atau pengertian sejarah dan sampai cabang-cabangnya.
Mengingat
luasnya materi dari Ulumul Hadits ini besar harapan kami untuk kelompok
selanjutnya agar menguraikan materi sesuai dengan bahasan masing-masing,
tentunya dengan satu tujuan untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kita
yang berhubungan dengan Ulumul Hadits. Kami selaku penyusun berharap makalah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan terutama penyusun sendiri. Dan Kami
selaku penyusun makalah tersebut mengharapkan saran, dan ide yang bisa
membangun, untuk melengkapi makalah ini.
[1]
Ahmad Warsono Munawwir,Al-Munawir; Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta; pondok
pesantren Al-Munawwir krapyak Yogyakarta,1984),hlm 1036
[2]
Muhammad Mustasfa Azami, Studies In hadits Methodologi and Literature,
diterjemahkan oleh Meth Kieraha (cet.III; Jakarta: PT. Lrnsera Basritama,
2003),hlm 21
[3]
http://istanailmu.com/2011/02/15/pengertian-dan-sejarah-ilmu-hadis/html
[4]
Fatchur Rahman, OP. cit. hlm 21
[5]
Ibid, hlm 22
[6]
Al-Qur’an surah Al-Hujarat 6
[7]
Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy, sejarah dan pengantar ilmu hadis,(cet.8 (edisi
ketiga; PT.Pustaka Rizki Putra.1997), hlm 38
[8]
Muhammad ‘Ajjaj al-khatib, Op. cit, hlm 11
[9]
Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy, sejarah dan pengantar ilmu hadis,(cet.I (edisi
kedua; PT.Pustaka Rizki Putra.1997), hlm 131
[10]
Ibid, hlm 134
[11]
Ibid, hlm 142
[12]
Ilmu://myant2526.blogspot.com/2010/05/blog-spot.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar