Sabtu, 02 November 2013

ulumul hadits


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Memahami ajaran dalam agama Islam dilakukan tidak sebatas membaca Al-Quran dan terjemahannya. Sebab, Al-Quran memiliki bahasa yang tinggi dan ayat-ayatnya tidak selalu bisa dipahami hanya melalui terjemahan. Salah satu penjelas dari isi Al-Quran adalah  sunah atau hadits yang berupa ucapan-ucapan Rasulullah Saw. yang diberi otoritas oleh Tuhan untuk menyampaikan setiap wahyu kepada umat manusia. Kedudukan hadits ini sangat penting bagi umat Islam.

Relasi antara al-Qur;an-hadis dan umat Islam terhadap keduanya seperti prinsip simbiosis mutualisme. Hadits merupakan warisan Rasulullah yang sampai sekarang masih dipegang para umatnya yang senantiasa mengharapkan syafaat setelah dibangkitkan kembali nanti. Hadits dikumpulkan oleh sejumlah perawi memiliki peran penting dalam penyampaian ajaran Islam. Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks.

B.     Rumusan Masalah
Ø  Apa itu Ulumul Hadits?
Ø  Bagaimana sejarah dan perkembangan Ulumul Hadits?
Ø  Apa saja cabang-cabang Ulumul Hadits?
Ø  Apa sajakah kitab-kitab Hadits?

C.    Tujuan
a.       Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang sejarah dan perkembangan Ulumul hadits serta macam-macam cabang dan buku Ulumul hadits.
b.      Tujuan Khusus
Untuk menyelesaikan tugas dari dosen pembimbing mata kuliah Ulumul Hadits.






BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ulumul Hadits
Ulumul hadits, merupakan salah satu bidang ilmu yang penting dalam islam terutama dalam mengenal dan memahami hadis-hadis Nabi SAW. Menurut bahasa, ulumul Hadist terdiri dari dua kata yakni kata “ilmu” dan “hadis”, kata “ilmu” berasal dari bahasa Arab: ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa’ila, yaf’alu, yang berarti mengerti, memahami benar-benar. [1]
Kata hadis secara Etimologi berarti komunikasi, kisah, percakapan yang bersifat Religius, sekuler, historis, atau kontemporer, dan secara Terminologi hadis  adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik dari segi perkataan, perbuatan, dan penetapan.[2]
Menurut Al-‘alamah at-Tabrizy dalam kitabnya Syarhu’d Di-baj’il-Mudzahhab diperoleh suatu pengetian bahwa Ulumul Hadis adalah:
Ilmu pengetahuan tentang sabda, perbuatan, penetapan, gerak-gerik dan bentuk jasmaniah Rasulullah SAW, beserta  sanad-sanad dan ilmu pengetahuan untuk membedakan keshahihannya, kehasanannya dan kedaifannya dari pada lainnya, baik matan maupun sanadnya.

-          Ibnu Hajar Al-asqalani berpendapat bahwa ilmu hadits adalah:
mengetahui kaidah-kaidah yang dijadikan sambungan untuk mengetahui (keadaan) perawi dan yang diriwayatkan.

     Dengan demikian Ulum al hadits mengandung pengertian’ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi. Adapun salah satu cara untuk membedakan antara hadis yang diterima dan yang ditolak adalah dengan mempelajari dan memahami Ulum al hadits yang memuat segala permasalahan yang berkaitan dengan hadis.
      Pada mulanya ilmu hadis memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri sendiri, yang berbicara tentang hadis nabi SAW dan para sepertiIlmu al-Hadis al-Sahih, Ilmu al-Mursal, Ilmu al-Asma’ wa al-Kuna, dan lain-lain. Ilmu-ilmu yang terpisah dan bersifat parsial tersebut disebut dengan Ulumul Hadis, karena masing-masing membicarakan tentang Hadis dan para perawinya. Akan tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan dijadikan satu, serta selanjutnya dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadis, sebagaimana halnya sebelum disatukan. Jadi penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadis setelah keadaannya menjadi satu adalah mengandung makna mufrad atau tunggal, yaitu Ilmu Hadis, karena telah terjadi perubahan makna lafaz tersebut dari maknanya yang pertama (beberapa ilmu yang terpisah) menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus yang nama lainnya adalah Musthalahul Hadis.[3]
Jika diperhatikan dengan seksama, tidak dijumpai pertentangan pendapat diantara para Ulama seputar masalah Ulumul Hadis. Ulama Mutakaddimin maupun Ulama Mutaakhirin sepakat berpendapat bahwa pokok bahasan dalam Ulumul Hadis, adalah seputar permasalahan tentang matan dan sanad hadis.
Mengingat fungsi ilmu hadis sangat menentukan terhadap pemakaian nas sebagai pedoman beramal, tidak sedikit para ulama yang memberikan tanggapan atas ketentuan hukum mempelajari ilmu hadis.

 “Imam Suryan Sauri berkata saya tidak mengenal ilmu dan yang lebih utama bagi orang yang berhasrat menundukkan wajahnya dihadapan Allah selain dari pada ilmu hadis, orang-orang sangat memerlukan ilmu ini, sampai kepada soal-soal kecil sekalipun, seperti makan, minum memerlukan petunjuk dari al-hadis.[4]
     
      Mempelajari ilmu hadis lebih utama dari pada menjalankan shalat dan puasa sunnah, karena mempelajari ilmu ini adalah fardu kifayah, sedangkan shalat sunnah dan puasa sunnah hukumnya sunnah.[5]

B.     Sejarah dan perkembangan Ulumul hadits
Sejarah dan Perkembangan Ulumul hadits Ulumul hadits telah lahir sejak Rasulullah SAW wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun hadits-hadits Rasulullah SAW karena timbulnya kekhawatiran akan hilang atau lenyapnya hadits-hadits tersebut. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadits. Mereka juga telah menggunakan kaidah-kaidah serta metode tertentu dalam menerima hadits, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut. Dalam QS. Al-Hujarat ayat 6, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk meneliti dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang lain, terutama dari orang fasik. Firman Allah SWT, yang Artinya:

Hai orang-orang yang telah beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan (yang sebenarnya) yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu[6]

Sementara dalam hadits disebutkan;
(Semoga) Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (hadis), lantas dia menyampaikannya (hadis tersebut) sebagaimana dia dengar, kadang-kadang orang yang menyampaikan lebih hafal daripada yang mendengar”. (HR. At-Tirmizi).

Menulis hadits hukumnya boleh berdasarkan konsensus ulama hadits. Namun tetap harus berpegangan dengan kecermatan.

Pembagian metode periwayatan hadits ada 8 macam :
1.      Mendengarkan langsung lafazh sang guru.
2.      Membacakan (riwayat) di hadapan sang guru.
3.       Al-Ijâzah (yaitu guru memberikan lisensi/izin kepada muridnya untuk meriwayatkan darinya, menurut jenis-jenisnya.
4.      Al-Munâwalah (yaitu guru menyerahkan manuskripnya kepada muridnya.
5.       Al-Mukâtabah (yaitu guru menuliskan atau mewakilkan orang lain yang menulis hadits untuk muridnya.
6.       Al-I'lâm (guru mengumumkan kepada muridnya bahwa ia memiliki manuskrip hadits.
7.       Al-Washiyah (yaitu: guru mewasiatkan sebuah manuskrip yang dimiliki olehnya, ketika hendak meninggal atau hendak safar.
8.      Al-Wijâdah(yaitu seorang yang menemukan manuskrip seorang perawi yang tidak sezaman dengannya.

Dalam kitab Mabahits Ulumil hadits, Syekh Manna Al-Qaththani menyimpulkan bahwa yang mendasari lahir dan berkembangnya Ilmu Hadits ada 2 hal pokok, yaitu:

1.      Dorongan agama
Bahwasanya umat manusia memperhatikan warisan pemikiran yang dapat menyentuh dan membangkitkan kehidupan mereka, memenuhi kecintaan hati mereka, menjadi pijakan kebangkitan mereka, lalu mereka terdorong untuk menanamkannya pada anak-anak mereka agar menjadi orang yang memahaminya, hingga warisan itu selalu hadir di hadapan mereka, membimbing langkah dan jalan mereka. Jika umat lain begitu perhatian terhadap warisan pemikiran mereka, maka umat Islam yang mengikuti risalah Nabi Muhammad SAW juga tidak kalah dalam memelihara warisan yang didapatkan dari Nabi SAW dengan cara periwayatan,menukil, hafalan, dan menyampaikannya, serta mengamalkan isinya karena itu bagian dari eksistensinya, dan hidup umat ini tiada berarti tanpa dengan agama.

2.      Dorongan sejarah
Umat manusia banyak dihadapkan pada pertentangan dan halangan sehingga mendorong untuk menjaga warisan mereka dari penyusupan yang menyebabkan terjadinya fitnah dan saling bermusuhan serta tipu muslihat. Dan umat islam yang merobohkan pilar kemusyrikan serta mendobrak benteng Romawi dan Persia, menghadapi musuh bebuyutan, tahu benar bahwa kekuatan umat ini terletak pada kekuatan agamanya, dan tidak dapat dihancurkan kecuali dari agama itu sendiri, dan salah satu jalannya adalah pemalsuan terhadap hadis. Dari sini, kaum muslimin mendapat dorongan yang kuat untuk meneliti dan menyelidiki periwayatan hadis, dan mengikuti aturan-aturan periwayatan yang benar, agar mereka dapat menjaga warisan yang agung ini dari penyelewengan dan penyusupan terhadapnya sehingga tetap bersih, tidak dikotori oleh aib maupun oleh keraguan.

Beberapa Aktivitas Ulama Hadits Dalam Rangka Memurnikan Hadits
Ø  Melakukan pembahasan terhadap sanad hadis serta penelitian terhadap keadaan setiap para perawi hadis, hal yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan
Ø  melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber hadis agar dapat mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat tersebut melaluinya.
Ø  melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi lain yang lebih tsiqat dan terpercaya dalam rangka untuk mengetahui ke-dha’if-an atau kepalsuan suatu hadis.
Periode perkembangan Hadist.
Masa pertama, masa wahyu dan pembentukan hkum serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi bangkit (ba’ats, diangkat sebagai Rasul) hingga beliau wafat pada tahun 11 H (dari 13 SH-11 H).
Masa kedua, masa membatasi riwayat, masa Khulafa’Rasyidin (12 H-40 H). Dengan alasan pengutamaan atas penyebaran Al-Qur’an.
Masa ketiga, masa berkembangnya riwayat dan perlawatan dari kota ke kota untuk mencari hadits (41 H – akhir abad pertama H). Para sahabat, setelah Rasul wafat tidak lagi berdiam di Madinah. Mereka pergi ke kota-kota lain. Maka penduduk kota lain pun mulai menerima hadits. Para tabi’in mempelajari hadits dari para sahabat itu. Dengan demikian mulailah berkembang periwayatan hadits dalam tabi’in. periwayatan pada masa ini hanya disampaikan kepada yang memerlukannya saja dan belum bersifat pelajaran.[7]
Masa keempat, masa pembukuan hadits (permulaan abad ke 2 – akhirnya). Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan hadits dan memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu' (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu' (berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud di atas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas hadits yang ada maupun yang dihafal.
Masa kelima, masa meentashhihkan hadits dan menyaringnya (awal abad ke 3 H hingga akhir)
Masa keenam, masa menapis kitab-kitab hadits dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (awal abad ke 4 H hingga jatuhnya Baghdad tahun 656 H).
Masa ketujuh, masa membuat syarah, membuat kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadits-hadits hokum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum serta membahas hadits-hadits zawa’id (656 H sampai saat ini).
C.    Cabang-cabang Ulumul Hadits.
Imam Suyuthi mengatakan bahwa cabang-cabang ulumul hadis tak terhitung jumlahnya. Sedang al-Hazimy mengatakan Ulumul Hadis terdiri dari pembahasan yang sangat banyak, mencapai seratus jenis. Masing-masing merupakan ilmu tersendiri. Sehingga seandainya seseorang menghabiskan usianya untuk mempelajarinya, maka tidak akan mengkajinya secara tuntas.[8]
Para Ulama Hadis telah membagi Ilmu Hadits kepada dua bagian, yaitu Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah, yaitu;
1.      Ilmu Hadits Riwayah
Adapun yang dimaksud dengan Ilmu Hadis Riwayah, sebagaiamana  yang disebutkan oleh Zhafar Ahmad ibn Lathif al-Utsmani al-Tahanawi di dalam Qawa’id fi Ulum al-Hadisseperti yang dikutip oleh Nawir Yuslem dalam Ulumul Hadis adalah sebagai berikut:
Ilmu Hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui dengannya perkataan, perbuatan, dan keadaan Rasul SAW serta periwayatan, pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Dari definisi tentang ilmu Hadis Riwayah di atas dapat dipahami bahwa Ilmu Hadis Riwayah pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi SAW.

2.      Ilmu Hadist Dirayah
Mengenai pengertian Ilmu Hadis Dirayah, para ulama hadis memberikan definisi yang bervariasi, namun jika dicermati berbagai definisi yang mereka kemukakan, maka akan ditemukan persamaan antara satu dengan lainnya, terutama dari segi sasaran dan pokok bahasannya. Di sini akan penulis kemukakan satu di antaranya:
Ibn al-Akfani memberikan definisi Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut:
Dan ilmu hadis yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui  hakikat riwayatsyarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya,keadaan para perawisyarat-syarat merekajenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.”
Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ialah:
Ø  Ilmu Rijalul Hadits
Ialah ilmu yang membahas para perawi hadits, dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya.[9]
Ø  Ilmu Jarhi wat ta’dil
Ialah ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat kata-kata itu.[10]
Ø  Ilmu fannil mubhammat
Ialah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut dalam matan, atau di dalam sanad. Di antara yang menyusun kitab ini, Al-Khatib Al Baghdady. Kitab Al Khatib itu diringkas dan dibersihkan oleh An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat Ila Bayani Asmail Mubhamat.
Ø  Ilmu ‘ilalil Hadist
Ialah ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat merusakkan hadits. Yakni: menyambung yang munqathi’, merafa’kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits ke dalam hadits yang lain dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui dapat merusakkan hadits. Ilmu ini, ilmu yang berpautan dengan keshahihan hadits. Tak dapat diketahui penyakit-penyakit hadits, melainkan oleh ulama, yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits.
Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan bahwa cara mengetahui ‘illah hadits adalah dengan mengumpulkan beberapa jalan hadits dan mencermati perbedaan perawinya dan kedhabithan mereka, yang dilakukan oleh orang orang yang ahli dalam ilmu ini. Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah hadits itu mu’tal (ada ‘illatnya) atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada ‘illat pada hadits tersebut maka dihukuminya sebagai hadits tidak shahih .
Ø  Ilmu talfiqil hadits
Ialah ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadits yang berlawanan lahirnya. Ada kalanya dikumpulkan dengan cara mentahsikhkan yang ‘aam atau mengtaqyidkan yang mutlak atau dengan memandang tempo kejadiannya.
Ø  Ilmu tashif wat tahrif
Ialah ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai mushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).
Ø  Ilmu asbabi wurudil hadits
            Ialah ilmu yang membicarakan tentang sebab-sebab mengapa Nabi Muhammad menuturkan sabdah beliau dan waktu beliau menuturkan itu. Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi Wurudil Hadits adalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbulnya hadits. Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan. Disamping itu ilmu ini mempunyai fungsi lain untuk memahami ajaran islam secara kompherensif. Dan juga dapat membantu kita mengetahui mana yang datang terlebih dahulu di antara dua hadits yang “Pertentangan”. Karenanya tidak mustahil kalau ada beberapa ulama yang tertarik untuk menulis tema semacam ini.[11]
Ø  Ilmu mukhtalaf dan musykil hadits
            Ialah ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara hadits yang zhahirnya bertentangan atau ilmu yang menerangkan ta’wil hadits yang musykil meskipun tidak bertentangan dengan hadits lain. Oleh sebagian ulam dinamakan dengan “Mukhtalaf Al-Hadits” atau “Musykil Al-Hadits”, atau semisal dengan itu. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih .[12]
D.    Macam-macam kitab Hadits
Ø  Kitab yang mengumpulkan Shahih al-Bukhary dan Muslim
Al-jami’ baina ash-shahihaini. Terdiri dari beberapa orang yang pernah menyusun seperti: Muhammad ibn abdillah al-Jauzaqy, isma’il ibn Ahmad (Ibnu al-Furat), Husain ibn Mas’ud al-Baghawy, Muhammad ibn Abi Nashr al-Humaidy al-Andalusy, Muhammad ibn Abd al-Haqq al-Asybily, Ahmad ibn Muhammad al-Qurthuby (Ibnu Hujjah).
Ø  Kitab yang mngumpulkam isi Kitab Enam
·         Tajtid ash-shihah, susunan Ahmad ibn razin as-Sarqasthy.
·         Jami’ al-Ushul, susunan Imam Al-Atsir al-jazzary (606 H)
·         Tashhil al-Wushul ila Ahaditsi az-Zaidah ‘ala Jami’il Ushul, susunan Al-Fairuz zabady
Ø  Kitab-kitab Jami’ yang lengkap
·         Mashabih as-Sunnah, susunan Al-baghawy.
·         Jami’ al-Masarid wa al-alqab, susunan Ibnu al-jauzy. Kitab ini mengumpulkan hadis-hadis Shahihain, Musnad Ahmad dan jami’ at-Tirmidzy.
·         Bah al-Asrid, susunan al-hafizh Al-Hasan ibn Ahmad as-Samarqandy (491 H).
·         Jami’al-masanid wa as-Sunan, susunan Ibnu katsir(774 H).
·         Majmu’az-Zawa’id wa mamba’al-fawa’id, susunan Al-Haitamy
·         It-haf al-Maharah bi Zawa’id al-masarid al-‘Asyrah, susunan Ibnu hajar
·         Jami’ al-Juwami’ dan Al-jami’ ash-Shaghir, susunan As-Saythy.
Ø  Kitab-kitab hadis hukum
·         As-Sunan al-Kubra, susunan Al-baihaqy.
·         As-Sunan, susunan Ad-daruquthny.
·         Al-Imam, karya Ibnu Daqiq al-led
·         Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany
·         Bulgh al-maram, susunan Ibnu hajar al-Asqalany
·         ‘Umdat al-Ahkam, karya Abd al-Ghany al-Maqdisy. Dalam kitab ini dibukukan hadis-hadis hokum yang disepakati oleh Al-Bukhary-muslim yang terdiri dari 500 buah hadis
·         Al-muharrar, susunan Ibnu Qudamah al-maqdisy
Ø  Kitab-kitab Hadis Targhib dan Tarhib
·         At-Targhib wa at-tarhib, susunan imam Al-Mundiry
·         Riyadh ash-shalihin, susunan Imam An-Nawawy
Ø  Kitab yang Menerangkan Derajat-derajat Hadits yang Terdapat dalam berbagai tafsir,Fiqh, yang dinamai Takhrij.
·         Takhrij Ahadits al-kasysyaf, susunan Jamaluddin al-hanafy. Kitab ini menjelaskan derajat hadits-hadits yang terdapat dalam Tafsir al-kasysyaf
·         Ath-thuruq wa al-Wasa’il, kitab yang menerangkan tentang hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Khulashah ad-Dala’il, sebuah kitab hanafy. Kitab ini disusun oleh Ahmad ibn utsman at-Turkumany.
·         Takhrij Ahadits al-minhaj, disusun oleh Ibnu mulaqqin. Kitab ini yang menerangkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Minhaj ath-thalibin.
·         Idrak al-Haqiqah, kitab yang menerangkan derajat-derajat hadits terdapat dalam kitab Ath-Tariqah. Kitab takhrij ini disusun oleh Ali Ibnu hasan ibn Shadaqah al-Mishry, selesai dibuat dalam tahun 1050 H.
·         Al-mughni‘an Haml al-Asfar, disusun oleh Al-Hafizh Al-Iraqy. Kitab ini yang menerangkan derajat hadits yang terdapat dalam Al-ihya’.
Ø  Kitab Mustadrak
            Ialah kitab yang membukukan hadits shahih yang dibukukan oleh Al-Bukhary dan Muslim dalam kitab Shahih-nya. Kitab yang sangat dikenal dikalangan umat islam ialah Al-Mustadrak susunan Abu Abdullah Muhammad ibn Abdullah ibn Muhammad ibn Hamdawiyah al-Hakim an-Naisaburry yang terkenal dengan nama Ibnu Bayyi’ atau Al-hakim.
Ø  Kitab-kitab Mustakhraj
Ialah kitab yang mengambil hadits dari sebuah kitab ulama hadits. Dari kitab Al-Bukhary umpamanya, lalu menyebutkan satu persatunya dengan sanad-nya sendiri, yakni mencari sanad-nya sendiri selain jalan Al-Bukhary hingga berjumpa dengan Al-Bukhary pada guru Al-Bukhari, atau di atasnya lagi.
Ø  Kitab –kitab hadits Adzkar
Ialah kitab yang menerangka tentang zikir. Kitab Al-Adzkar telah di syarahkan oleh Ibnu Allan ash-Shiddiqy Syafi’y dalam kitab Al-futuhat ar-rabbaniyah ‘ala al-Adzkar an-nawawiyah, sebuah syarah yang baik.
Al-Adzkar sangat dipuji dikalangan ulama. An-Nawawy berkata “kitab Al-Adzkar sangat dibutuhkan oleh para penuntut akhirat”. Sebagian ulama berkata “Bi’ddara wasytar al-adzkar” yang artinya juallah rumah dan belilah Al-Adzkar.
Ø  Kitab-kitab penunjuk Hadits
Kitab ini sangat diperlukan oleh para pelajar hadits untuk mencari suatu hadits yang mereka perlukan. Salah satunya adalah kunuz as-Sunnah
Ø  Kitab Athraf
·         Athraf ash-Shahihaini, karya Al-hafizh Ibrahim ibn Muhammad ibn Ubaid ad-Dimasyqy
·         Atharaf as-Sittah, karya Al-hafizh
·         Dzakhair al-Mawarits fi ad-Dalalati ‘ala Mawadhi’ ala-Ahadits, karya Al-‘Allamah As-Saib Abd al-Ghany al-Maqdisy 91143 H). kitab ini adlah kitab athaf bagi kitab enam dan Muwaththa’ malik. Dalam kitab ini nama-nama para sahabat disusun menurut abjad.
Ad-Dahlawy membagi derajat kitab-kitab hadits kepada empat tingkatan, yaitu:
Ø  Al-Muwaththa’, Shahih al-Bukhary dan Shahih Muslim
Ø  Sunan yang keempat, sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasa’y, Sunan at-Tirmidzy, Sunan Ibni Majah. Sementara Musnad Ahmad sangat berdekatan kepada tingkatan kedua ini.
Ø  Seluruh musnad selain Musnad Ahmad, yang kandungannya bercampur baur, ada yang shahih, ada yang hasan, ada yang dha’if, bahkan ada yang munkar, seperti Musnad Abu ya’la, sunan Al-Baihaqy, kitab-kitab Ath-Thahawy dan  kitab Ath-Thabrany.
Ø  Kitab-kitab yang dimaksudkan oleh penyusunannya mengumpulkan segala rupa hadits, untuk kepentingan mereka yang membantu pendirian dan paham masing-masing. Seperti kitab-kitab Ibnu Asakir, Ad-Dailamy, Ibnu najjar Abu Nu’aim dan yang setaraf.
Dan yang menjadi pedoman Ulama Hadits ialah kitab tingkatan pertama dan kedua. Tingkatan ketiga tidak diperbolehkan siapa saja mengambil haditsnya. Sedangkan yang keempat tidak dihargai ulama hadits kenamaan, kecuali dalam membuat hujjah dan keterangan, kecuali sebagai hadits yang diketahui kebaikan sannad-nya dengan pemeriksaan.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Kedudukan hadits dalam islam yang utama adalah penjelas Al-Qur’an yang masih global. Hadits menjadi pedoman tambahan ketika muncul persoalan-persoalan yang tidak spesifik terdapat pada Al-Qur’an setelah Rasulullah. Al-Qur’an dan hadits dijadikan sebagai rujukan para ulama untuk mengeluarkan fatwa dan aturan lainnya. Hadits menjaga ayat-ayat al-Qur’an tidak secara sembarangan dlencengkan sehingga seolah ayat-ayat Al-Qur’an berkontradiksi. Penjelasan Rasulullah sudah merupakan penjelas yang dapat dipahami bahwa juga sudah ditafsirkan secara mendalam oleh para ulama. Ucapan dan kepribadian Rasulullah SAW selalu berdasarkan Al-Qur’an. Umat islam yang mengikuti hadits-hadits Rasulullah adalah mereka yang juga taat pada Al-Qur’an. Maka pengertian dari ilmu hadits itu sendiri adalah apa yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW. Baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum atau sesudah kenabiannya.
            Dan dalam sejarah perkembangan ilmu hadits ada 2 hal pokok, yaitu dorongan agama dan sejarah. Dan adapun hadits-hadits tersebut terbagi dua yaitu hadits dirayah dan hadits riwayah. Begitu banyak kitab-kitab hadits berdasarkan tingkat-tingkatannya pula.

B.     SARAN
            Sesuai dengan perkembangan hadits, ilmu  hadits selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah sekalipun sebelum dinyatakan sebagai ilmu ekplisit, pada masa nabi Muhammad SAW hadits tidak memiliki persoalan karena langsung dibicarakan dengan nabi. Ulumul hadits membahas dari segi bahasa atau pengertian sejarah dan sampai cabang-cabangnya.
Mengingat luasnya materi dari Ulumul Hadits ini besar harapan kami untuk kelompok selanjutnya agar menguraikan materi sesuai dengan bahasan masing-masing, tentunya dengan satu tujuan untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kita yang berhubungan dengan Ulumul Hadits. Kami selaku penyusun berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan terutama penyusun sendiri. Dan Kami selaku penyusun makalah tersebut mengharapkan saran, dan ide yang bisa membangun, untuk  melengkapi makalah ini.
 


[1] Ahmad Warsono Munawwir,Al-Munawir; Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta; pondok pesantren Al-Munawwir krapyak Yogyakarta,1984),hlm 1036
[2] Muhammad Mustasfa Azami, Studies In hadits Methodologi and Literature, diterjemahkan oleh Meth Kieraha (cet.III; Jakarta: PT. Lrnsera Basritama, 2003),hlm 21
[3] http://istanailmu.com/2011/02/15/pengertian-dan-sejarah-ilmu-hadis/html
[4] Fatchur Rahman, OP. cit. hlm 21
[5] Ibid, hlm 22
[6] Al-Qur’an surah Al-Hujarat 6
[7] Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy, sejarah dan pengantar ilmu hadis,(cet.8 (edisi ketiga; PT.Pustaka Rizki Putra.1997), hlm 38
[8] Muhammad ‘Ajjaj al-khatib, Op. cit, hlm 11
[9] Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy, sejarah dan pengantar ilmu hadis,(cet.I (edisi kedua; PT.Pustaka Rizki Putra.1997), hlm 131
[10] Ibid, hlm 134
[11] Ibid, hlm 142
[12] Ilmu://myant2526.blogspot.com/2010/05/blog-spot.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar