Strategi
Pembinaan Akhlak Murid Jenjang Pendidikan Dasar
Disusun
Oleh:
Putri
Yunisari (231324324)
Dini
Tauhida (231324135)
Dosen
Pembimbing:
Nidawati,
M.Ag

PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSALAM, BANDA ACEH
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akhlak
Adapun
pengertian akhlak dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan
sebagai budi pekerti atau kelakuan[2].
Kata akhlak walaupun diambil dari bahasa Arab (yang biasa diartikan tabiat,
perangai, kebiasaan) namun kata seperti itu tidak diketemukan dalam Al-Qur'an,
yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang
tercantum dalam Al-Qur'an surat Al-Qalam ayat 4 sebagai konsideran pengangkatan
Nabi Muhammad Saw sebagai Rasul[3].
Secara etimologi akhlak adalah
bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku dan
tabi’at. Sinonim kata akhlak adalah budi pekerti, tata krama, sopan santun,
moral dan etika[4]. Sedangkan
akhlak menurut terminologi sebagaimana di ungkapkan oleh Imam Al-Ghazali adalah
sebagai berikut : akhlak adalah suatu bentuk (naluri asli) dalam jiwa seorang
manusia yang dapat melahirkan suatu tindakan dan kelakuan dengan mudah dan
sopan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Apabila naluri tersebut melahirkan
suatu tindakan dan kelakuan yang baik dan terpuji menurut akal dan agama, maka
disebut budi pekerti yang baik. Namun sebaliknya bila melahirkan tindakan dan
kelakuan yang jahat maka disebut budi pekerti yang buruk.
Yang dimaksud
melahirkan tindakan dan kelakuan ialah
suatu yang dijelmakan anggota lahir manusia, misalnya tangan, mulut, demikian
juga yang dilahirkan oleh anggota bathin yakni hati yang tidak dibuat-buat.
Kalau kebiasaan yang tidak dibuat-buat itu baik disebut akhlak yang baik dan
kalau kebiasaan yang buruk disebut akhlak yang buruk.
Jadi dapat
kita simpulkan awal perbuatan yang itu lahir melalui kebiasaan yang mudah tanpa
adanya pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu, contohnya jika seseorang
memaksakan dirinya untuk mendermakan katanya / menahan amarahnya dengan
terpaksa, maka orang yang semacam ini belum disebut dermawan / orang yang
sabar. Seseorang yang memberikan pertolongan kepada orang lain belumlah dapat
dikatakan ia seorang yang berakhlak baik
Apabila ia
melakukan hal tersebut karena dorongan oleh hati yang tulus, akhlas, dari rasa
kebaikannya / kasihannya sesama manusia maka ia dapat dikatakan berakhlak dan
berbudi pekerti yang baik. Jadi akhlak adalah masalah kejiwaan, bukan masalah
perbuatan, sedangkan yang tampak berupa perbuatan itu sudah tanda / gejala
akhlak.
Sedangkan
akhlak menurut Ibrahim Anis adalah sifat yang tertanam di dalam jiwa yang
dengannya malahirkan macam-macam perbuatan baik / buruk tampa membutuhkan
pemikiran dan pertimbangan. Dan menurut Abdul Karim Zaidan akhlak adalah
nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengan sorotan dan
timbangannya seseorang dapat menilai perbuatan baik / buruk untuk kemudian
memilih melakukan / meninggalkannya.
Dari
beberapa pengertian tersebut bisa kita ambil kesimpulan bahwa akhlak / khuluq
itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia sehingga dia akan muncul
secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran / pertimbangan
terlebih dahulu serta tidak memerlukan dorongan dari luar.
Di samping
istilah akhlak juga dikenal istilah etika dan moral. Ketiga istilah itu
sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Akhlak
itu ada yang bersifat tabrat / alami, maksudnya bersifat fitrah sebagai
pembawaan sejak lahir, misalnya sabar, penyayang, malu, sebagaimana di dalam
hadist Abdil Qais disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. berkata kepadaku
“sesungguhnya pada diri kamu ada dua tabiat yang di sukai Allah”, Aku berkata
“Apa yang dua itu ya Rasulullah?”, rasulullah saw. menjawab “Sabar dan malu”.
Kata akhlak
dipakai untuk perbuatan terpuji dan perbuatan tercela. Oleh karena itu akhlak
memerlukan batasan agar bisa dikatakan akhlak terpuji / akhlak tercela.
1. Pembagian
Akhlak
Akhlak dibagi menjadi dua macam :
1.
Akhlakul Karimah
Akhlakul karimah adalah akhlak yang
mulia atau terpuji. Akhlak yang baik itu dilahirkan oleh sifat-sifat yang baik
pula yaitu sesuai dengan ajaran Allah swt. dan rasul-rasulNya[5].
2. Akhlakul
Madzmumah
Akhlakul madzmumah adalah akhlah tercela / akhlak yang
tidak terpuji. Akhlakul madzmumah (tercela) ialah akhlak yang lahir dari sifat-sifat yang tidak sesuai dengan
ajaran Allah swt. dan RasulNya[6].
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi akhlak
Anis Matta (2001: 25) menyebutkan secara garis besar
yang mempengaruhi akhlak seseorang itu terbagi kepada dua, yakni faktor
internal dan faktor eksternal.
Adapun
faktor internal meliputi:
1. Instink biologis, sebuah insting mendorng
individu untuk memenuhi ketuhananya. Cara memenuhi kebutuhan itu bila
berlangsung lama dan menetap akan menjadi akhlak.
2 Kebutuhan psikologis, kebutuhan-kebutuhan
psikologis melahirkan perilaku yang berbeda. Jika perilaku yang ditimbulkannya
itu berlangsung lama dan menetap maka itulah akhlak.
3. Pikiran, akumulasi informasi akan untuk cara
berfikir individu dan selanjutnya mempengaruhi cara berperilakunya.
Adapun
secara eksternal, faktor yang mempengaruhi akhlak antara lain:
1. Lingkungan keluarga, nilai-nilai yang
berkembang dalam keluarga, kecenderungan-kecenderungan umum serta pola sikap
kedua orang tua terhadap anak akan sangat mempengaruhi perilaku dalam semua
tahapan.
2. Lingkungan sosal, nilai-nilai yang berkembang
dalam masyarakat serta dengan siapa individu bergaul akan mempengaruhi
akhlaknya.
3. Lingkungan pendidikan, institusi pendidikan
akan mempengaruhi perilaku individu sesuai dengan nilai-nilai dan
kecenderungan-kecenderungan yang berkembang dalam lingkungan tersebut serta
berbagai usaha sadar secara langsung ataupun tidak untuk mengembangkan potensi
individu.
B. Pendidikan Akhlak
Menurut Ahmad D. Marimba: Pendidikan
adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama[7].
Dalam bahasa Arab istilah pendidikan digunakan untuk berbagai pengertian,
antara lain tarbiyah, tahzib, ta’lim, ta'dib, siyasat, mawa’izh, 'ada ta'awwud
dan tadrib. Sedangkan untuk istilah tarbiyah, tahzib dan ta'dib sering
diartikan pendidikan. Ta'lim diartikan pengajaran, siyasat diartikan siasat,
pemerintahan, politik atau pengaturan. Muwa'izh diartikan pengajaran atau
peringan. 'Ada ta'awwud diartikan pembiasaan dan tadrib diartikan pelatihan.
Jadi pendidikan
akhlak adalah suatu kegiatan pendidikan yang disengaja untuk perilaku lahir dan
batin manusia menuju arah tertentu yang dikehendaki. Berakhlak mulia merupakan bagian dari tujuan
pendidikan di Indonesia, tujuan tersebut membutuhkan perhatian besar berbagai
pihak dalam rangka mewujudkan manusia berskill, kreatif, sehat jasmani dan rohani
sekaligus berakhlak mulia. Inti dari pendidikan adalah pendidikan akhlak, sebab
tidak ada artinya skill hebat jika tidak berakhlak mulia. Tidak ada artinya
mempunyai generasi hebat, jenius, kreatif tetapi tidak berakhlak mulia.
Berdasarkan
alasan tersebut penulis menganggap bahwa akhlak merupakan bagian terpenting
dalam kehidupan ini. Kenapa penulis berasumsi demikian? Karena tanpa akhlak
dunia akan hancur, dunia akan menjadi seperti neraka, dunia akan menjadi ladang
pemuasan keinginan tak terkendali, baik kendali keagamaan, adat maupun moral.
Jika harus memilih dua pilihan, pilihan pertama pemimpin berakhlak mulia,
tetapi berpendidikan diploma, pilihan kedua pemimpin bergelar strata
tiga/Doktor tetapi berakhlak buruk, suka berzina, korupsi dan perilaku jelek
lainnya, pasti orang sehat akalnya akan memilih pemimpin berpendidikan diploma,
daripada pemimpin bergelar Doktor/S.3 tetapi berakhlak buruk.
C. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan
pendidikan akhlak menurut Omar Muhammad Al Thoumy Al- Syaibani “Tujuan
tertinggi agama dan akhlak ialah menciptakan kebahagiaan dua kampung (dunia dan
akherat), kesempurnaan jiwa bagi individu, dan menciptakan kebahagiaan,
kemajuan, kekuatan dan keteguhan bagi masyarakat[8].
Tujuan
pendidikan akhlak menurut M. Athiyah al Abrasyi “Tujuan pendidikan budi pekerti
adalah membentuk manusia yang berakhlak (baik laki-laki maupun wanita) agar
mempunyai kehendak yang kuat, perbuatan-perbuatan yang baik, meresapkan
fadhilah (kedalam jiwanya) dengan meresapkan cinta kepada fadhilah (kedalam
jiwanya) dengan perasaan cinta kepada fadhilah dan menjauhi kekejian (dengan
keyakinan bahwa perbuatan itu benar-benar keji)[9].
Tujuan di
atas selaras dengan tujuan pendidikan Nasional yang tercantum dalam
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/Th. 2003, bab II, Pasal 3
dinyatakan bahwa:
“Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab[10].
D. Strategi Pembinaan Akhlak
Strategi adalah
cara untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan
dengan pelaksanaan gagasan,
perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu
tertentu[11].
Tantangan yang dihadapi oleh para penggerak dunia pendidikan saat ini semakin
banyak, salah satunya adalah perubahan atmosfer dunia pendidikan yang sebagian
besar dipengaruhi oleh adanya perkembangan teknologi yang akan terus terjadi.
Selain memberi
dampak yang baik bagi peningkatan kualitas pembelajaran ternyata perkembangan
teknologi ini juga memberikan efek samping yang kurang baik bagi dunia
pendidikan terutama jika menyangkut tentang penyalahgunaan yang terjadi di
lingkungan peserta didik. Karenanya dalam menyampaikan pelajaran dan menjawab
tantangan perkembangan teknologi yang terjadi, seorang tenaga pendidik haruslah
aktif dalam mengikuti perkembangan tersebut dan memikirkan strategi
pembelajaran yang baik untuk para peserta didik yang dimilikinya.
Strategi pembelajaran merupakan cara
atau metode yang digunakan untuk melakukan pengajaran yang baik dan efektif. Dalam
mendidik akhlak perlu sebuah sistem ataupun metode tepat agar proses
internalisasi dapat berjalan dengan baik, lebih penting adalah anak mampu
menerima konsep akhlak dengan baik serta mampu mewujudkan dalam kehidupan
keseharian.
Menurut
Abdurrahman an-Nahlawi metode pendidikan Islam adalah metode dialog, metode
kisah Qurani dan Nabawi, metode keteladanan, metode aplikasi dan pengamalan,
metode ibrah dan nasihat serta metode targhib dan tarhib. Berikut adalah
beberapa metode yang bisa diterapkan dalam pendidikan akhlak:
a.
Metode
dialog
Metode dialog
adalah metode menggunakan tanya jawab, apakah pembiacaraan itu antara dua orang
atau lebih, dalam pembicaraan tersebut mempunyai tujuan dan topik pembicaraan
tertentu. Metode dialog berusaha menghubungkan pemikiran seseorang dengan orang
lain, serta mempunyai manfaat bagi pelaku dan pendengarnya[12].
Metode dialog atau Tanya jawab ialah penyampaian pelajaran dengan cara guru
mengajukan pertanyaan dan murid menjawab. Atau suatu metode di dalam pendidikan
dimana guru bertanya sedangkan murid menjawab tentang materi yang ingin
diperolehnya[13].
Rasulullah saw. menggunakan metode dialog dalam
mendidik/mengajar sahabatnya. Dialog ada yang diawali dengan pertanyaan sahabat
kepada Nabi dan adapula yang di awali dengan pertanyaan Rasulullah kepada sahabat.
Metode dialog/tanya jawab/hiwar ini baik digunakan dalam
pembelajaran karena beberapa keuntungan. Keuntungan tersebut adalah:
1. Situasi kelas akan hidup karena anak-anak aktif berfikir
dan menyampaikan buah pikirannya.
2. Melatih anak agar berani mengungkapkan pendapatnya.
3. Timbulnya perbedaan pendapat di antara anak didik akan
menghangatkan proses diskusi.
4. Mendorong murid lebih aktif dan bersungguh-sungguh,
walau agak lambat, guru dapat
mengontrol pemahaman atau pengertian murid pada masalah-masalah yang
dibicarakan.
5. Pertanyaan dapat membangkitkan anak menilai kebenaran
sesuatu.
6. Pertanyaan dapat menarik perhatian anak
7. Pertanyaan dapat melatih anak untuk mengingat.
8. Pertanyaan dapat memusatkan perhatian siswa.
b. Metode Kisah Qurani dan Nabawi
Dalam al-Quran
banyak ditemui kisah menceritakan kejadian masa lalu, kisah mempunyai daya
tarik tersendiri yang tujuannnya mendidik akhlak, kisah-kisah para Nabi dan
Rasul sebagai pelajaran berharga. Termasuk kisah umat yang ingkar kepada Allah
beserta akibatnya, kisah tentang orang taat dan balasan yang diterimanya.
Seperti cerita Habil dan Qobil,
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua
putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang Sebenarnya, ketika keduanya
mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua
(Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia Berkata (Qabil): “Aku
pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah Hanya menerima (korban)
dari orang-orang yang bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu
kepadaku untuk membunuhku, Aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku
kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya Aku takut kepada Allah, Tuhan seru
sekalian alam. Sesungguhnya Aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa
(membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan
yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim. Maka hawa nafsu
Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu
dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi”[14].
Selain itu kisah
dalam al-Quran bertujuan mengkokohkan wahyu dan risalah para Nabi, kisah dalam
al-Quran memberi informasi terhadap agama yang dibawa para Nabi berasal dari
Allah, kisah dalam al-Quran mampu menghibur umat Islam yang sedang sedih atau
tertimpa musibah.
Metode mendidik
akhlak melalui kisah akan memberi kesempatan bagi anak untuk berfikir,
merasakan, merenungi kisah tersebut, sehingga seolah ia ikut berperan dalam
kisah tersebut. Adanya keterkaitan emosi anak terhadap kisah akan memberi
peluang bagi anak untuk meniru tokoh-tokoh berakhlak baik, dan berusaha
meninggalkan perilaku tokoh-tokoh berakhlak buruk.
Cerita mengusung
dua unsur negatif dan unsur positif, adanya dua unsur tersebut akan memberi
warna dalam diri anak jika tidak ada filter dari para orang tua dan pendidik.
Metode mendidik akhlak melalui cerita/ kisah berperan dalam pembentukan akhlak,
moral dan akal anak. Maka cerita/kisah dapat menjadi metode yang baik dalam
rangka membentuk akhlak dan kepribadian anak.
Adapun untuk membina akhlak anak
dengan metode bercerita maka sebelumnya perlu terlebih dahulu memperhatikan
fungsi bercerita itu untuk apa (preventif, kuratif, depelopmental), akhlak yang
menjadi sasaran pembinaan (wilayah akhlak, induk akhlak terpuji, akar
akhlak tercela), klasifikasi usia anak untuk memilih sebuah cerita dengan
memperhatikan jenis, panjang, tema, bahasa maka selanjutnya bercerita sebagai
metode membina akhlak anak dimulai.
Cerita mempunyai
kekuatan dan daya tarik tersendiri dalam menarik simpati anak, perasaannya
aktif, hal ini memberi gambaran bahwa cerita disenangi orang, cerita dalam
al-Quran bukan hanya sekedar memberi hiburan, tetapi untuk direnungi, karena
cerita dalam al-Quran memberi pengajaran kepada manusia. Dapat dipahami bahwa
cerita dapat melunakkan hati dan jiwa anak didik, cerita tidak hanya sekedar
menghibur tetapi dapat juga menjadi nasehat, memberi pengaruh terhadap akhlak
dan perilaku anak, dan terakhir kisah/ cerita merupakan sarana ampuh dalam
pendidikan, terutama dalam pembentukan akhlak anak.
Marion Van Horne dalam bukunya Give
Children Wings (Handayu, 2001: 133) membuat suatu kategori dalam membedakan
jenis cerita anak-anak, sebagai berikut:
1. Fantasi atau
karangan khayal
2. Realistic fiction atau cerita khayal yang
mengandung unsur kenyataan
3.
Biografi atau riwayat hidup
4. Folk tales
atau dongeng-dongeng rakyat
5. Religious
stories atau cerita-cerita agama.
Sedangkan Wimanjaya K. Liotohe dalam Petunjuk Praktis
Mengarang Cerita Anak-anak, (Handayu, 2001: 133) melirik hakikat cerita itu
sendiri, menggolongkan cerita anak-anak sebagai berikut:
1. Cerita-cerita
fiktif, didalamnya termasuk dongeng umum, fabel, sage, legenda dan mitos.
2. Cerita-cerita
denga tokoh hitam putih, dimana yang baik (protagonis) selalu menang atas yang
jahat (antagonis).
3. Jenis
nonfiksi, termasuk biografi atau riwayat hidup, seperti kisah perjalanan,
petualangan, riwayat hidup orang besar serta kejadian sehari-hari.
4. Cerita-cerita informatif adalah
cerita yang mengandung informasi atau unsur penerangan.
Ketika memilih cerita yang akan disampaikan kepada
anak maka harus mempertimbangkan klasifikasi usia anak. Hal ini mengingat
faktor usia akan mempengaruhi daya serap seorang anak.
a.
Usia 0-4 tahun
Pada saat ini anak masih egosentris,
dalam arti bahwa semua berpusat pada dirinya. Maka cerita dipilih yang
sederhana dan berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari yang baru terbatas
pada lingkungan keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, kakak, adik, kakek, dan
nenek. Waktu bercerita pun cukup 8-10 menit, sehingga anak bisa berkonsentrasi
penuh.
b.
Usia 4-8 tahun
Pada tarap ini anak senang akan
peristiwa atau kata-kata yang mengandung cinta kasih atau belaian sayang. Ia
senang pada benda yang terdapat di alam sekelilingnya. Senang menikmati bunyi
atau irama yang balik berulang-ulang juga senang pada gambar. Pada masa ini
anak senang bertanya “mengapa” dan “bagaimana”. Ia menyukai cerita jenaka dan
heriok. Waktu bercerita bisa sekitar 30 menit.
c.
Usia 8-12 tahun
Pergaulan anak pada usia ini sudah
lebih luas, maka ia tidak cukup bertanya “mengapa” dan “bagaimana” tetapi juga
“dimana” dan “kapan” cerita itu berlangsung, karena itu cerita yang dipilih
harus sudah tersusun rapi. Pada usia ini anak menyukai cerita yang berbau
petualangan fantastis rasional.
Sebuah pertanyaan mungkin muncul,
ada apa dengan bercerita sehingga dipilih sebagai metode untuk membantu
perkembangan anak khususnya moral. Bila diperhatikan dengan jeli ternyata cerita
dapat memberikan banyak hal bagi pendidikan anak, diantaranya adalah:
1.
Mengembangkan imajinasi dan fantasi anak.
2.
Mengasah kepekaan emosi anak dengan diajak menghayati
dan merasakan berbagai perasaan yang dialami oleh tokoh dalam cerita.
3.
Memupuk minat baca anak karena anak akan melihat bahwa
dalam buku itu ada sesuatu yang menarik.
4.
Meningkatkan kreativitas dan kekritisan anak dengan
merangsang anak untuk berfikir serta memperhatikan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh anak mengenai cerita.
5.
Meningkatkan hubungan emosional antara anak dengan
orang yang bercerita terutama orang tua karena ketika bercerita itu terjadi
kontak batin, dan dampak positif paling penting dari kontak batin ini adalah
orang tua merasa didengar dan diperhatikan dan anak merasa disayangi.
6.
Membina akhlak anak karena akan memperoleh
contoh-contoh perilaku yang baik dan buruk serta akibat yang ditimbulkannya,
sehingga dia bisa menentukan pilihan mana yang harus dia pergunakan dan mana
yang harus dijauhi.
7.
Mengembangkan daya analisis anak karena ketika
mendengarkan cerita itu anak menganalisis permasalahan dan juga menyerap
nilai-nilai mengenai realitas kehidupan yang sebelumnya tidak mereka ketahui.
Bercerita sebagai salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk menjalin komunikasi dalam pendidikan anak pada hakikatnya
bukanlah bercerita untuk anak melainkan bercerita bersama anak. Untuk
mendapatkan hasil yang optimal dari metode bercerita ini maka perlu
memperhatikan hal-hal yang dapat menunjang antara lain:
1.
Memberikan potret yang jelas dan menarik dengan
memperhatikan: intonasi, ekspresi wajah, peniruan suara para tokoh,
gerakan, bahasa yang mudah tapi cukup indah.
2.
Menciptakan suasana yang tenang dan akrab dan sesering
mungkin melakukan kontak mata dan fisik, bahkan bila anak itu seorang bisa
sambil didekap dan dibelai.
3.
Buat anak merasa terlibat dengan komunikasi timbal
balik.
4.
Cerita tidak terlalu banyak nasihat sehingga
menjemukan dan jangan mencoba menggurui dengan pemberian nasihat langsung.
5.
Memilih waktu yang tepat untuk bercerita.
6.
Perhatikan usia serta kondisi anak untuk menentukan
jenis cerita dan lamanya bercerita.
7.
Mengatur tempat duduk sedekat mungkin bila penyimak
itu kelompok.
8.
Gunakan media yang menarik untuk lebih menarik
perhatian anak.
9.
Amati perkembangan reaksi anak sambil tetap mempertahankan
kondisi menyenangkan.
10. Sebelum
mengakhiri cerita ajak anak untuk mencoba menemukan nilai-nilai yang terkandung
dalam cerita.
Hal yang
tidak kalah penting adalah isi cerita yang akan disampaikan. Isi cerita untuk
membina akhlak anak hendaklah tidak keluar dari ajaran Islam, tidak mengandung
kemusyrikan, tahayul, mistik, kekerasan, sadisme, kebohongan atau tragedi.
Pencerita bisa sambil membaca buku ceritanya ataupun tidak. Tidak harus pula
cerita itu diambil dari buku tetapi bisa juga diambil dari pengalaman masa
kecil pencerita terutama bila pencerita itu orang tua si anak.
c. Metode Teladan
Muhammad bin
Muhammad al-Hamid mengatakan pendidik itu besar dimata anak didiknya, apa yang
dilihat dari gurunya akan ditirunya, karena murid akan meniru dan meneladani
apa yang dilihat dari gurunya[15].
keteladanan menjadi titik sentral dalam mendidik dan membina akhlak anak didik,
kalau pendidik berakhlak baik ada kemungkinan anak didiknya juga berakhlak
baik, karena murid meniru gurunya, sebaliknya jika guru berakhlak buruk ada
kemungkinan anak didiknya juga berakhlak buruk.
Dengan demikian
keteladanan menjadi penting dalam pendidikan akhlak, keteladanan akan menjadi
metode ampuh dalam membina akhlak anak. Mengenai hebatnya keteladanan Allah
mengutus Rasul untuk menjadi teladan yang paling baik, Muhammad adalah teladan
tertinggi sebagai panutan dalam rangka pembinaan akhlak mulia, “Sesungguhnya Telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Keteladanan Muhammad
saw. yang sempurna menjadi acuan bagi pendidik sebagai teladan utama, dilain
pihak pendidik hendaknya berusaha meneladani Muhammad saw. sebagai teladannya,
sehingga diharapkan anak didik mempunyai figure yang dapat dijadikan panutan.
Seperti dalam firman Allah swt.
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang
agung”. (Q.S. Al-Qalam, 66:4).
d. Metode Adat kebiasaan
Imam Ghazali mengatakan anak adalah
amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang suci adalah permata yang sangat
mahal harganya. Jika dibiasakan pada kejahatan dan dibiarkan seperti dibiarkannya
binatang, ia kan celaka dan binasa. Sedangkan memeliharanya adalah dengan upaya
pendidikan dan mengajari akhlak yang baik.
e. Nasehat
Adapun metode AlQuran dalam
menyajikan nasehat dan pengajaran memiliki ciri tersendiri, yakni:
a) seruan yang menyenangkan, seraya dibarengi dengan
kelembutan atau upaya penolakan,
b) metode cerita disertai perumpamaan yang mengandung
pelajaran dan nasehat,
c) metode wasiat dan nasehat.
f. Perhatian
Islam dengan keuniversalan prinsip
dan peraturannya yang abadi, memerintah para orang tua dan pendidik untuk
memperhatikan dan senantiasa mengikuti serta mengawasi anak-anaknya dalam segala
segi kehidupan dan pendidikan yang universal.
Setiap anak membutuhkan perhatian
dari orang disekitarnya tanpa terkecuali orang tua. Hal ini terbukti karena
anak akan mencari cara agar dia mendapatkan perhatian tersebut.
Maksud metode
perhatian ini tidak lain adalah mencurahkan, memperhatikan dan senantiasa
mengikuti perkembangan anak dalam pembinaan akidah dan moral, persiapan
spiritual dan sosial, di samping salalu bertanya tentang situasi pendidikan
jasmani daya hasil ilmiahnya.
Banyak hal yang dapat dilakukan
dengan adanya metode perhatian yang diberikan orang tua atau pendidik,
diantaranya:
1.
Dalam keadaan anak makan bersama
keluarga akan tertanam rasa bersatu antara keluarga dan rasa hormat kepada
orang yang lebih dewasa. Rasa diperhatikan dan memiliki satu sama lainnya.
2.
Membuat anak lebih disiplin, karena orang tua akan
lebih memperhatikan pengaturan waktu belajar dan bermain bagi sang anak.
g. Hukuman
Adapun metode yang dipakai Islam
dalam memberikan hukuman kepada anak adalah: lemah lembut dan kasih sayang
adalah dasar pembenahan anak, menjaga tabiat anak yang salah dalam menggunakan
hukuman, dan dalam upaya pembenahan, hendaknya dilakukan secara bertahap dari
yang paling ringan hingga yang paling keras.
E. Strategi Pembinaan Akhlak dalam Kebersihan
a.
Pengertian
Kebersihan menurut agama islam adalah upaya manusia untuk memelihara diri
dan lingkungan dari segala yang kotor dan yang keji untuk mewujudkan dan
melestarikan kehidupan yang sehat dan nyaman. Kebersihan juga bersumber dari
iman dan merupakan bagian dari iman.
Kebersihan menurut
kamus Indonesia adalah berasal dari kata bersih yang artinya tidak kotor, bebas
dari kotoran, tidak tercampur dengan benda atau sesuatu yang lain dan tidak
ternoda. Sedangkan kebersihan menurut wikipedia bahasa indonesia adalah keadaan
bebas dari kotoran, termasuk diantaranya debu, bau dan sampah.
Seringkali kita melihat murid-murid yang membuang
sampah sembarangan. Beberapa kali bapak ibu guru menasehati kepada murid-murid
agar membuang sampah pada tempatnya, akan tetapi apa kenyataannya murid-murid
tidak mematuhinya. Tentu kita sebagai warga sekolah tidak mau melihat sampah
berserakan dimana-mana. Sampah tadi juga dapat mencemari lingkungan sekolah
baik di dalam kelas maupun diluar kelas selain itu juga dapat menjadikan
suasana belajar kita tidak nyaman.
b.
Langkah-Langkah Pembinaan
Kebersihan
Demi tercapainya lingkungan yang bersih dan nyaman,
perlu sekali dilakukan tindakan yang bersifat mengajak kesadaran kita untuk
menjaga kebersihan dan bersifat mengatasi masalah di atas. Tindakan-tindakan
tersebut antara lain:
1. Siswa diharapkan mempunyai kesadaran
dari hati nuraninya sendiri untuk menjaga kebersihan.
2. Setiap hari senin wajib memeriksa
kebersihan sendiri seperti baju, rambut, kuku, sepatu, dll.
3. Petugas piket harus membersihkan
kelas serta lingkungan sekitar.
4. Guru wajib menegur siswa yang
membuang sampah sembarangan.
5. Mencatat pada buku pelanggaran.
6. Memberi sanksi tersendiri bagi siswa
yang melakukan pelanggaran terutama membuang sampah sembarangan.
Dengan tindakan-tindakan tersebut diharapkan mampu
menyadarkan siswa untuk menjaga kebersihan. Kebersihan berpengaruh besar
tehadap kesehatan maka dari itu kebersihan perlu dijaga.
Seringkali kita menjumpai slogan-slogan yang
berhubungan dengan kebersihan lingkungan. Slogan-slogan tersebut mengajak kita
untuk hidup bersih dan sehat, biasanya kita menjumpai slogan-slogan tersebut di
berbagai tempat terutama di sekolah diantaranya “bersih pangkal sehat”,
“kebersihan adalah sebagian dari iman”, “jagalah kebersihan”.
Akan tetapi slogan tersebut tidak kita pedulikan
seperti hiasan belaka tanpa kita laksanakan, contohnya masih banyak siswa yang
membuang sampah sembarangan, merobek-robek kertas di kelas, kalau buang air
kecil tidak disiram dan menimbulkan bau yang tidak sedap, selain itu juga masih
ada lagi contoh-contoh lain yang mencerminkan siswa tidak menjaga kebersihan.
Pada dasarnya kebersihan sudah terdapat dalam Al-Qur’an:
·
Surat Al-Baqarah :
222
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang
yang taubat dan orang-orang yang membersihan diri”.
·
Surat At-Taubah :
108
لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
Artinya: “Di dalamnya ada orang-orang yang suka membersihkan
diri Dan Allah menyukai orang yang membersihkan diri”.
Sosok pribadi muslim sejati adalah orang yang bisa
menjadi teladan dan idola dalam arti yang positif di tengah manusia dalam hal
kesucian dan kebersihan. Baik kesucian zahir maupun maupun batin. Sebagaimana
sabda Rasulullah SAW kepada jamaah dari sahabatnya :
“Kalian akan mendatangi saudaramu, maka perbaguslah kedatanganmu dan
perbaguslah penampilanmu. Sehingga sosokmu bisa seperti tahi lalat di tengah
manusia (menjadi pemanis). Sesungguhnya Allah tidak menyukai hal yang kotor dan
keji”. (HR. Ahmad)
Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa urusan kesucian
itu sangat terkait dengan nilai dan derajat keimanan seseorang. Bila urusan
kesucian ini bagus, maka imannya pun bagus. Dan sebaliknya, bila masalah
kesucian ini tidak diperhatikan, maka kulitas imannya sangat dipertaruhkan.
الطهور شطر الإيمان
Artinya: “Kebersihan itu bagian dari
Iman.” (HR. Muslim).
F.
Strategi Pembinaan Akhlak dalam Ukhuwah Al Hasanah
a. pengertian
Ukhuwah al-hasanah artinya persaudaraan yang
bagus (indah). Ukhuwah al-hasanah sebenarnya memiliki arti yang luas yang
mencakup bukan hanya terhadap sesama kaum muslimin, namun juga terhadap sesama
secara keseluruhan. Artinya, ukhuwah ini sebenarnya adalah semangat yang universil
yang di dambakan oleh setiap insan yang menginginkan kehidupan yang damai.
Ada yang menterjemahkan Ukhuwah al-hasanah sebagai persaudaraan antara
ummat Islam. Ini sebenarnya sangat sempit. Padahal yang dimaksud adalah
pembinaan rasa persaudaraaan secara Islam dengan siapa saja. Jadi, istilah
tersebut mengandung nilai-nilai yang bersifat lebih universil.
b. Langkah-Langkah
Pokok Untuk Menggalang Ukhuwah Al Hasanah
1.
Ta’aruf = saling mengenal
Sebelum kita
menggalang rasa persaudaraan yang lebih jauh, kita harus saling kenal dulu.
“Tak kenal maka tak sayang”, kata pepatah. Saling mengenal artinya kita tahu
siapa dirinya dan sebaliknya. Pertemuan-pertemuan seperti pengajian, sarasehan,
rapat RT/RW, berorganisasi, piknik, rekreasi, study tour, dan sebagainya
merupakan kegiatan untuk lebih saling mengenal antara individu. Allah SWT
bersabda:
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat, 49 : 13)
·
Tafahum = saling pengertian
Setelah
saling mengenal, maka dilanjutkan dengan tahapan untuk lebih saling mengerti.
Saling mengerti artinya, kita tahu apa maunya dan sebaliknya dia tahu apa mau
kita serta motivasi yang melatar-belakangi keinginan masing-masing. Juga
berarti saling memahami tugas dan tanggung jawab masing-masing, serta peranan
masing-masing dalam masyarakat. Juga berarti saling memahami dan merasakan
kesulitan-kesulitan yang dihadapi bersama.
·
Ta’awun = tolong menolong
Setelah
saling mengenal, dan memahami maka hubungan perlu ditingkatkan dalam bentuk
tolong menolong untuk kebaikan dan ketaqwaan. Mengenai hal ini, Allah bertitah
dalam surah Al-Maidah ayat 2:
“……Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”(QS.
Al-Maidah, 5 : 2)
Artinya yang
memiliki kelebihan menolong yang memiliki kekurangan. Kalau tolong menolong
atau bergotong royong untuk melaksanakan kejahatan, itu jelas-jelas bukanlah
termasuk ukhuwah Islamiyah. Lebih lanjut, ta’awun ini bisa dilakukan dalam 3
bentuk, yaitu mal (harta), ilmu dan quwwah (tenaga).
·
Ilmu
Bila kita
memiliki ilmu, tak boleh kita simpan sendiri, namun harus dimanfaatkan untuk
kepentingan orang banyak. Seorang ahli pertanian misalnya, sebaiknya menurunkan
ilmunya kepada para petani, sehingga para petani menjadi semakin pandai dan
kesejahteraan merekapun jadi semakin meningkat.
Ilmu, dan
juga harta seperti disebut diatas, merupakan nikmat Allah yang harus kita
syukuri dengan membaginya kepada orang lain. Sesungguhnya berbagi harta atau
ilmu kepada orang yang memerlukan, tidak akan membuat kita menjadi miskin atau
bodoh, sebagaimana janji Allah SWT berikut ini:
Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan:”Sesungguhnya
jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.(QS.
Ibrahim 14 : 7)
·
Quwwah = tenaga
Kalau kita tidak bisa memberikan harta dan ilmu maka kita bisa
menyumbangkan tenaga kita untuk kebaikan. Kaum dhuafa biasanya memiliki tenaga,
sedangkan hartawan memiliki harta, sehingga keduanya bisa saling bantu, saling
mengisi sehingga keduanya memperoleh mutual benefit.
·
Tadhanan = saling bertanggung jawab
Dalam
menjaga kerukunan, maka semua pihak yang terlibat harus menjaga agar ucapan dan
tindakannya membawa suasana yang kondusif bagi tercapainya kerukunan. Apa yang
telah disepakati untuk dilakukan atau dibangun demi kerukunan itu, haruslah
menjadi tanggung jawab setiap orang untuk melaksanakan dan memeliharanyanya.
Bila salah satu pihak mengabaikan tanggung jawabnya, maka akan sungguh sulit
untuk menciptakan kerukunan itu. Jaminan tercapainya kerukunan itu adalah
dengan saling bertanggung jawab.
·
Tasaamuh = saling toleransi
Satu faktor
penting ialah rasa tenggang menenggang. Dalam menciptakan kerukunan, maka ada
hal-hal yang bisa di-negotiate, atau ditawar. Kita boleh fleksibel dalam
hal-hal tertentu, tapi kita perlu tetap memegang prinsip dengan berpedoman pada
Al-Qur’an dan Hadits Nabi saw.
Mengenai hal
toleransi ini, maka kita perlu mencontoh Nabi saw, dalam mengakomodir
kepentingan ibadah kaum Nasrani sewaktu beliau menjadi pemimpin kaum muslim di
Madinah. Dibawah kepemimpinan Nabi saw inilah lahir berbagai peraturan dan
undang-undang yang melindungi tempat-tempat ibadah non-muslim, serta diharuskan
untuk ikut menjaganya bila ada orang yang berniat merusaknya.
Kalau dengan
kaum non-muslim saja Nabi menganjurkan kita untuk bertoleransi, apalagi dengan
saudara se-iman, se-ichwan dan se-ichsan. Allah berfirman:
Allah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil.(QS.
Al-Mumtahanah, 60 : 8)
[2] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2003), h. 20
[3] Quraish Shihab,
Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (BandungI
Mizan, 2003), h. 253
[4] DR.H.Yunahar.1999.Kuliah
Akhlak.Yogyakarta:Pustaka Pelajar offset.hal 2
[5] Drs.KH.Ahmad
Dimyathi Badruzzaman,M.A.2004. Panduan Kuliah Agama Islam. (Bandung:Sinar Baru),
hal 32
[6] Drs.KH.Ahmad
Dimyathi Badruzzaman,M.A.2004.Panduan..., hal 41
[7] Ahmad D.
Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al Ma’arif, 1989),h. 19
[8] Omar Muhammad
al-Toumy Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet. I, h. 346
[9] M. Athiyah Al
Abrasy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Ghani dan Djohar
Bahry L.I.S.,(Jakarta: Bulan Bintang,1970), h.108
[10] Undang-undang
RI, Sistem Pendidikan Nasional, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), Cet. VII, h. 7
[11] http://id.wikipedia.org/wiki/Strategi
[12] Abdurrahman
An-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah Wa Asalibiha fii Baiti wal Madrasati wal
Mujtama’ Penerjemah. Shihabuddin, (Jakart: Gema Insani Press:1996)., h.205
[13] Zuhairini, dkk., Metodik
Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), cet. ke-8, h. 86
[14] Departemen Agama
RI, Al-Quran dan terjemah dan Penjelasan Ayat Ahkam,(Jakarta: Pena Pundi
Aksara,2006., h. 272
[15] Muhammad bin
Ibrahim al- Hamd, Maal Muallimin, Penerjemah, Ahmad Syaikhu, ( Jakarta: Darul
Haq,2002)., h.27
ijin baca ya ka
BalasHapus